Adalah
Dandelion. Yang tidak penting kapan kami mengenalnya. Karena kenapa kami
mengaguminya. Satu-satunya karena ia. Yang tidak peduli meski tumbuh dekat
ilalang yang terabaikan.
Pagi
itu, kalian mungkin belum sarapan. Mata yang belum menunjukkan sudut tangkap
retina pada kertas soal yang baru saja dibagikan. Otak yang belum tersetting
untuk berkontribusi menuangkan isinya
yang sejak tadi malam entah terisi atau tidak. Alhasil, pena yang sejak tadi
dipersiapkan hanya tampak beku dari tangan yang telah lama dingin di atas
ganggang motor. Baiklah, lebih baik memang saya kembali pada topik tulisan ini.
Ada kau, aku dan Dandelion.
Ima: “Dmnq? Bawaka dandelion”
*bergeming*
*masih
bergeming*
*menatap
soal tajam*
*dimulai*
*SELESAI*
Saya:
“Manami?”
Ima:
(senyam-senyum gaje, sama seperti kalian yang belum sarapan) “Lama sekaliki, habismi
kutiup”
Sebagian
cerita disensor demi keamanan bersama.
***
Dan
akhirnya cerita berlanjut, dengan memperlihatkan ini:
Indah bukan? |